Berbagai komentar bermunculan pasca pelaksanaan Pemilu 2024. Ada kalangan menyebut Pemilu sekarang paling brutal di era reformasi. Rusak parah, penuh kecurangan.
Kalangan lain berani menyebut lebih kasar dari pelaksanaan Pemilu di masa Orde Baru.
Komentar-komentar, yang kadang disertai berbagai video sebagai bukti itu, menegaskan kesadaran sangat terlambat .
Mereka ibaratnya baru terbangun dari mimpi indah pelaksanaan Pemilu dari realitas yang sebenarnya sudah amburadul sejak awal.
Apa yang terjadi sekarang tentang dugaan berbagai kecurangan seperti penggelembungan suara, dicoblos duluan untuk pasangan tertentu sebenarnya tidak lebih dari bagian teknis kerusakan Pemilu.
Sebuah riak-riak, yang boleh jadi dari awal sudah mendapatkan ‘jalan’ mulus.
Apa yang mengejutkan pelaksanaan Pemilu ada dugaan terjadi kecurangan terstruktur, sistematis dan massif, jika hal paling mendasar saja dari awal sudah dirusak, diacak-acak.
Semua merupakan resultan dari titik masuk atau fondasi pelaksanaan yang sudah melabrak sana-sani.
Kontroversi di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah awal kerusakan pelaksanaan Pemilu, yang mencabik-cabik perundang-undangan.
Pernyataan Wakil Ketua MK Saldi Isra, yang menyebut keanehan luar biasa ketika sebuah keputusan MK bisa berobah hanya dalam hitungan jam menegaskan betapa bobroknya proses awal yang menjadi dasar Pemilu terkait persyaratan Capres Capres.
Masyarakat negeri ini mengetahui sebelum keputusan perkara Nomor 90, pada hari yang sama MK menolak permohonan uji material soal perubahan batas usia.
Lalu, tak berapa lama, dalam gugatan yang hampir sama MK berobah mengabulkan melalui penambahan frase pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Sebuah kontroversi dan tragedi hukum konstestasi politik yang luar biasa, yang menjadi landasan pelaksanaan Pemilu Pilpres dan secara normatif terbukti terjadi pelanggaran etik melalui keputusan Mahkamah Kehormatan MK.
Selesai? Belum. Tidak hanya persoalan pasal batasan usia yang diacak-diacak melalui skandal hukum di MK.
Bahkan, keputusan yang memang final dan mengikat itu ketika belum diberlakukan pun dilabrak.
KPU terbukti melanggar etik berdasarkan keputusan DKPP karena menerima pendaftaran pencalonan pasangan 02 padahal PKPU belom dirobah dari persyaratan sebelumnya. Itu artinya, yang baru belum diberlakukan, yang lamapun dilabrak. Alamak. Dasyat sekali.
Hanya melingkar pada kalangan akademisi dan budayawan serta masyarakat yang memiliki nalar dan nurani.
Sementara para politisi, yang mendapat keuntungan memberikan dukungan tanpa menyadari dampak dasyat ke depan.
Ironisnya lagi, politisi yang tidak setuju produk hukum pelanggaran etika, masih saja bersedia berkompetisi padahal sudah jelas terjadi distorsi hukum sangat luar biasa.
Organisasi keagamaan, yang diharapkan menjadi kekuatan moral seperti teriak dalam hamparan laut luas.
Apalagi ada Ormas besar, yang justru diam dan diduga menjadi bagian yang menikmati distorsi hukum demi kekuasaan instan.
Ketika kemudian Pemilu, yang melabarak hukum dan etika itu berlangsung sudah pasti pihak yang menikmati keuntungan seperti mendapat energi untuk melakukan berbagai kecurangan.
Jika fondasi pelaksanaan Pemilu saja berani mereka labrak apalagi yang oleh mereka anggap ecek-ecek.
Bansos, dugaan pengerahan aparat, penggelembungan suara, kertas suara dicoblos sebenarnya dari awal seakan sudah mendapat angin dan energi untuk dilakukan.
Sesungguhnya, apa yang terjadi dalam keseluruhan proses pelaksanaan Pemilu sekarang ini merupakan pintu awal negeri ini memasuki masa kegelapan politik.
Era awal kehancuran demokrasi.
Sebuah ironi tragis, karena demokrasi yang telah berjalan terus membaik ini, yang susah payah diperjuangan dengan pengorbanan darah dan air mata, jiwa raga melalui reformasi 1998 dirusak demi -lagi-lagi ironis- untuk mengulang kesalahan lama era Orde Baru demi melanggengkan kekuasaan.
Tragis.